Senin, 07 Desember 2015
Nikah beda agama?
Mengenalkan anak pada tradisi Islam-Konghucu
Pasangan keluarga beda agama Nurcholish dan Ang Mei Yong, yang telah memiliki dua anak, mengaku tidak terlalu dihadapkan masalah keyakinan agama masing-masing dalam kehidupan sehari-hari."Mungkin kami terbantu, karena saya dan istri sama-sama bergiat di lembaga interfaith, lembaga antar agama," kata Nurcholish yang pernah mengikuti pendidikan pesantren di Grobogan, Jawa Tengah ini.
Pasangan keluarga beda agama Nurcholish dan Ang Mei Yong, yang telah memiliki dua anak, mengaku tidak terlalu dihadapkan masalah keyakinan agama masing-masing dalam kehidupan sehari-hari. Jika anak-anaknya sudah dewasa, Nurcholish mengaku akan membebaskan mereka untuk memilih keyakinannya.Sehingga, mereka sudah terbiasa dalam perspektif keberagamaan dan kebhinekaan dalam melihat hubungan antara agama."Sehingga ketika menikah, soal perbedaan keyakinan itu sudah selesai lebih dulu.
Artinya tidak menjadi perdebatan yang sengitlah, katakanlah begitu,"tambahnya.Bagaimana Anda mendidik dua anak Anda ketika Anda dan istri tetap menjalankan keyakinan agama masing-masing, tanya saya."Sejak kecil saya memperkenalkan dua keyakinan agama orang tuanya, saya mengenalkan tradisi Islam, kemudian ibunya memperkenalkan tradisi Konghucu," ujar Nurcholish yang suka membaca buku filsafat ini. "Itulah yang kemudian diserap oleh anak-anak kami dan mereka nyatanya bisa mengidentifikasi dirinya bahwa mereka adalah anak dari pasangan pernikahan beda agama," ungkapnya.Jika anak-anaknya sudah dewasa, Nurcholish mengaku akan membebaskan mereka untuk memilih keyakinannya.
Dibutuhkan kesiapan mental
Kepada calon pasangan menikah beda agama, alumni program pascasarjana (S-2) di Universitas Muhammadiyah Jakarta ini selalu menekankan agar mereka "memperkuat mental".
Kepada calon pasangan menikah beda agama, alumni program pascasarjana (S-2) di Universitas Muhammadiyah Jakarta ini selalu menekankan agar mereka "memperkuat mental".Image captionKepada calon mempelai beda agama, Nurcholish juga mewanti-wanti agar keduanya tidak boleh menganggap nilai-nilai agamanya paling benar.Hal ini dia tekankan karena "kesiapan mental" merupakan tantangan terbesar bagi calon pasangan menikah beda agama. "Karena, tantangan terbesar pasangan beda agama itu adalah tentangan yang terjadi di lingkaran keluarga dan masyarakat lingkungannya," kata Nurcholish."Sampai kapan pun tentangan itu pasti akan ada. Itu juga saya alami," akunya, terus-terang.Dengan siap secara mental, menurutnya, mereka akan siap ketika "ditanya, di-judge(dihakimi), dikatakan bahwa pernikahan seperti ini tidak benar, zinah, haram..."Apabila para pasangan itu tidak siap mental, lanjutnya, "Maka itu akan menganggu kehidupan mereka. Nah, itu yang terjadi pada sebagian besar pasangan nikah beda agama."
Tidak boleh memaksa pasangan pindah agama
Ketidaksiapan mental itu terlihat dari kecenderungan pasangan yang mencoba menyamarkan pernikahan mereka."Seolah-olah pasangan se-agama. Jarang sekali yang mau diwawancarai (oleh wartawan) dan mau bercerita bagaimana kehidupan rumah tangganya," jelasnya. Ketidaksiapan mental itu terlihat dari kecenderungan pasangan yang mencoba menyamarkan pernikahan mereka.Kepada calon mempelai beda agama, Nurcholish juga mewanti-wanti agar keduanya tidak boleh menganggap nilai-nilai agamanya paling benar.Mereka juga tidak diperbolehkan memiliki "niat membawa pasangannya untuk mengikuti agamanya.
"Karena itu akan menjadi persoalan luar biasa. Bayangkan, misalnya, kalau saya memiliki keinginan itu, maka setiap hari saya pasti berdoa agar pasangan saya mengikuti ajaran saya."Nah, kalau tidak berhasil, maka saya akan merasa berdosa. Itu kan menghantui pola pikir, menghantui keberimanan saya. Nah ini berbahaya bagi hubungan suami istri," paparnya."
Putusan MK, sebuah kemunduran
Dalam bagian wawancara, Nurcholish juga mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi yang menolak uji materi terhadap sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Pada pertengahan Juni 2015 lalu, MK menyatakan larangan menikahi pasangan yang berbeda agama, seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak melanggar konstitusi.Image caption"Saya kira (putusan MK) ini kemunduran, karena kelima pemohon itu hendak menandaskan suatu hal penting, bahwa ada diantara hak-hak sipil warga negara terabaikan atau terdiskriminasikan," kata Nurcholish (kanan)."Saya kira (putusan MK) ini kemunduran, karena kelima pemohon itu hendak menandaskan suatu hal penting, bahwa ada di antara hak-hak sipil warga negara terabaikan atau terdiskriminasikan," kata Nurcholish, penulis buku Pernikahan beda agama, kesaksian, argumen keagamaan dan analisis kebijakan (2005).Menurutnya, lima orang penguji materi itu hendak mengajukan permohonan agar ada kepastian hukum apakah perkawinan beda agama dilarang atau tidak."Nah, MK tidak memberikan hal itu.
MK justru mengembalikan bunyi ayat dalam pasal 2 ayat 1 sebagaimana semula," katanya.Uji materi ini diajukan empat warga negara atas nama Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Varida Megawati Simarmata, dan Anbar Jayadi.Keempatnya mengajukan uji materi terhadap isi UU yang menyebutkan bahwa "perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".Image captionWalaupun demikian, menurut Nurcholish, putusan MK itu tidak akan berdampak terhadap pernikahan beda agama.Para pemohon beralasan pengaturan perkawinan seperti ini akan berimplikasi pada sah tidaknya perkawinan yang dilakukan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, misalnya perkawinan antara pasangan yang beda agama.Majelis hakim MK menyatakan, pasal bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut masing-masing agama dan dicatat sesuai aturan perundangan, bukan pelanggaran terhadap konstitusi.
Tetap bisa melakukan pernikahan beda agama
Namun demikian, menurutnya, putusan MK itu tidak berdampak langsung terhadap pernikahan beda agama.Image captionMenyinggung soal sikap KUA dan Kantor Catatan Sipil yang tidak memahami adanya kebijakan pemerintah yang memberikan ruang nikah beda agama, Nurcholish mengatakan "saat ini para pemangku negara lambat laun mulai memahami tentang masalah pernikahan beda agama".Artinya, calon pelaku pernikahan agama tetap bisa melakukannya, walaupun dalam praktiknya pola pernikahan beda agama terkadang terkendala di tingkat bawah seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil."Mereka bisa menikah dengan hukum agama masing-masing, misalnya Islam dan Kristen, bisa melakukan akad nikah, tentu saja dengan penghulu yang memiliki pemahaman nikah beda agama itu boleh," katanya."Lalu mereka bisa melakukan pemberkatan, kalau pasangannya Kristen atau Katolik," tambahnya."Nah nanti yang bisa dicatatkan oleh mereka ke negara itu (Kantor Catatan Sipil) adalah pernikahan secara non-Islam.
Jadi peluangnya itu," kata Nurcholish."Meski dicatat secara Katolik atau Protestan, tetapi itu tidak mengubah identitas keyakinan mereka," tandasnya.Image captionArtinya, calon pelaku pernikahan agama tetap bisa melakukannya, walaupun dalam prakteknya pola pernikahan beda agama terkadang terkendala di tingkat bawah seperti Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, kata Nurcholish.
Menyinggung soal sikap KUA dan Kantor Catatan Sipil yang tidak memahami adanya kebijakan pemerintah yang memberikan ruang nikah beda agama, Nurcholish mengatakan "Saat ini para pemangku negara lambat laun mulai memahami tentang masalah pernikahan beda agama"."Ada beberapa Kantor Catatan Sipil, beberapa pengadilan negeri memiliki pemahaman yang berbeda. Mereka memahami bahwa tugas negara mencatat bukan mengesahkan, sebagaimana diatur undang-undang," katanya."Oleh karena itu, sepanjang pasangan itu memiliki pengesahan oleh agamawan atau lembaga agama, maka tugas negara cuma mencatat saja," kata Nurcholish.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Memang bukan jadi masalah nikah beda agama, dan tidak boleh ada keterpaksaan pindah agama jika ingin menikah
BalasHapusTidak ada salahnya nikah beda agama, itu malah bisa memperkuat toleransi antar agama:)
BalasHapusmengenalkan anak pada tradisi islam-konghucu juga bagus, karena budaya di indonesia banyak sekali dan agama bukan menjadi suatu penghalang
BalasHapusMempersiapkan mental memang salah satu resiko untuk nikah beda agama, karena pasti banyak pandangan negatif dari teman maupun keluarga dan saudara2 juga.
BalasHapustidak ada salah nya menikah berbeda agama asalkan adanya saling toleransi di antara mereka
BalasHapus